Kita pernah terpisahkan oleh jarak.
Terpisahkan oleh keyakinan.
Terpisahkan oleh restu yang tak di dapat.
Setelah perjuangan di lalui.
Setelah segalanya di dapatkan.
Sekarang kita terpisahkan dengan alam yang sudah berbeda.
Aku di atas tanahku.
Kamu di bawah tanahmu.
Dulu kita jalan saling bergandengan.
Sekarang kita saling mendoakan.
Dulu kau yang selalu menghampiriku.
Sekarang aku yang datang ke tanahmu.
Dulu kita selalu tertawa berdua.
Kini hanya aku yang bersuara.
Ketika kau masih ada disini.
Tak sekalipun kau mau memakai baju berwarna putih.
Tapi sekarang kau sangat menyukai baju itu.
Ketika kau masih ada disini.
Tak sekalipun kau suka dengan kegelapan.
Tapi sekarang kau berteman baik dengan gelapnya tempatmu beristirahat.
Ketika kau masih ada disini.
Tak sedetikpun kau suka dengan kesunyian.
Sekarang tak ada suara lain selain doa-doa yang saling berdatangan.
Aku menangis kali ini bukan karena kau menyakitiku.
Bukan juga karena aku tak rela kau berpindah tempat dan suasana.
Bukan juga aku tak sanggup kehilangan sebuah pegangan.
Bukan, bukan aku tak sanggup tak bisa menatapmu berlama-lama.
Tapi aku terlalu kaget dengan waktu yang berakhir dengan cepat.
Dengan suasana yng tak pernah kusangka-sangka.
Atau mungkin aku yang terlena saat sedang bersamamu.
Menikmati detik-detik saat kau di sisiku.
Walau satu rasa.
Walau satu keinginan.
Walau satu tujuan.
Tapi kalau tidak dalam satu jalannya takdir, kita bisa apa? kita sanggup melakukan apa?
Membuka diri? Sedangkan di dalam hati masih ada dia yang sudah jauh pergi.
Mengikhlaskan takdir? Sedangkan batas ikhlas tak bisa di ukur dengan kata ataupun angka.
Menerima semua? Akankah yang akan datang di kemudian hari pun bisa menerimannya...
Menetap dan tak bergerak dari tempat terakhir kalinya? Tidak mungkin bukan... Sedangkan waktu terus berjalan.
Yang bisa dilakukan hanya menjalani yang saat ini ada.